Tengah malam
kuterbangun setelah mendengar deringan handphone, kuambil dari atas meja.
“Ada apa?” jawabku
“Bisa datang sekarang?”
suara dari sebrang yang terdengar sangat gemetar.
“Memangnya ada
apa?sudah malam, Don” tanyaku
Tut tut tut ….
Sambungannya terputus.
Entah ada apa dengannya, tumben sekali dia menelfon dengan suara bergetar
seperti itu, suaranya juga serak dan kering. Kutekan tombol handphone untuk
memanggil ulang, suara operator yang berbicara, kuulangi enam kali dan
hasilnya,sama.
Kubuka jendela kamarku,
ternyata banyak banyak dan indah sekali. Ingat saat ku dan Dani pertama kenal,
ya seperti ini suasana malam itu, ospek alam yang sangat mengesankan. Ospek
yang membuat kita berteman hingga bersahabat 5 semester lebih. Dani yang cuek,
sedikit bicara, seperti ular saja, berkulit dingin tanpa emosi.
Sudah saatnya kuliah,
mata ini terasa sembab, karena tak tidur setelah telfon tadi. Di lingkungan
kampus, aku langsung mencari sosok yang selalu pucat tapi selalu berjalan
gagah. Tujuan awal adalah basecamp UKMnya, tapi nihil. Kantin, juga nihil.
Lelah mencari, ruang kuliah tujuan akhirku. Sampai disana kulihat dia sedang
duduk ditengah kerumunan teman-teman.
“Apa yang
dipikirkannya? Apa yang dia lakukan? Apa maksud dari telfon semalam?” Dalam
hatiku sambil memasuki kelas, tanpa menyapanya dan teman lain, aku duduk
dikursi paling belakang, “Bodoh, kenapa khawatir pada orang orang yang tak
patut dikhawatirkan” kukatakan pada diriku sendiri “Seringkali kamu membuatku
seperti ini, sudah hampir 3 tahun kita kenal, tapi aku masih mengenal mrekmu
saja, tanpa mengerti apa isi didalam dirimu, melihat saja belum apalagi
menyentuh”, tak terasa air mata ini menetes, “seringkali juga dia membuatku
menangis seperti ini”
“Ada apa denganmu, Ke?”
suara parau ini kembali menyapaku, ya itu suara Dani
“Tak ada, tak ada yang
terjadi” jawabku sambil mengusap mataku cepat. “pergilah duduk, dosen sudah
datang” kupalingkan wajahku darinya, tak tahan rasanya melihat dia, tapi dia
tetap saja berdiri didepanku.
“Duduklah, jangan seperti
ini lagi. Aku tak suka” sambil berkata aku pergi keluar kelas mengabaikan dosen
dan Doni.
Dia
tak mengejarku.
Di ruang kuliah lain.
Tak pernah dia
mengucapkan terimakasih saat menerima pertolonganku, hanya “Apa jadinya jika
kamu meninggal, Ke” atau “Kapan kamu berhenti membantuku?”, jika dia mengatakan
itu, aku cuma tersenyum dan pergi, karena hanya itu yang bisa kuberikan untuk
membalas kesederhanaan yang dia berikan, atas pengorbanan waktu yang dia
berikan.
“Jika kamu marah
padaku, tak perlu Ke. Karena aku tak ingin kamu peduli pada hidupku” Suara ini
mengagetkanku lagi.
“Jangan pergi tanpa
meningalkan sesuatu, jangan pergi tanpa mengatakan sesuatu, jangan pergi dengan
membuat orang khawatir, jangan kembali jika kamu belum punya alasan” ucapku
sambil berjalan menuju tempat duduk. Tapi, sesaat aku duduk aku melihat dia
pergi dan menjauh dariku
“Hei, apa sih
maksudmu?” kataku
“Aku pergi, karena aku
belum punya alas an untuk kembali menemuimu”
“Jangan seperti ini,
Don” suaraku bergetar dan mengecil
“Apanya? Kamu sendiri
yang ingin aku pergi ‘kan?” katanya sambil melangkah kearahku lagi
“Kamu selalu seperti
ini, cobalah katakan apa yang ingin Kamu katakan” lebih bergetar suara ini,
serasa darah ini memuncah dikepala, tak tahan menahan, mengalirnya airmataku,
“ingin aku katakan padamu apa yang terjadi? Apa semua baik-baik saja? Tapi tak
bias, karena kamu selalu mengatakan apa pedulimu” belum sempat dia berkata, dan
air mata ini kuusap dan terus keluar.
“Kenapa Kamu selalu
marah? Padahal aku tak melakukan apa-apa” Tangkasnya lirih. “lantas, apa
pedulimu dengan hidupku?” tambahnya, sambil menarik tanganku keluar ruangan itu
“Bahkan, aku bukan anakmu, kakakmu, atau pacarmu” katanya sambil melempar
tanganku
“Ingin tahu, kenapa aku
seperti ini? Marah tak karuan seperti ini? Karena aku saying padamu, Don”
“Aku tak ingin
mendengar apapun darimu lagi” katanya sambil menarikku untuk duduk. “Jangan
menangis seperti ini lagi, Ke. Aku tak suka dan tak mau kau tangisi. Aku ingin
kamu dan aku hanya berteman dan tak lebih. Kamu sudah memiliki kekasih dan dia
sangat baik, lebih baik dariku, bukan seorang yang hobi berkelahi, bukan orang
yang hobinya hanya merokok dan minum, bukan orang yang hanya bisa berbicara
kotor sepertiku”
“Bodoh, aku marah
karena aku khawatir terhadapmu, dan aku menyayangiku karena hanya kamu yang aku
punya, karena kamu teman terbaikku” tangisku terbalut senyum, “Yeah, because I
have you, my best friend” kusandarkan kepalaku pada bahu kanannya yang sangat
kuat.
Aku tak menangis, hanya
air mata haru ini menghiasi pertemuan ini, pagi cerah, dan rumput masih basah
karena embun.Namun, tak ada sepatah kata darimu untuk menjelaskan apa yang
telah terjadi.
“Hei Don, aku harap
kamu bersedia memberitahuku orang seperti apa dirimu itu”
==
Sekian ==
“sahabat
itu akan menegur dan menyalahkan jika kita salah langkah, akan memaafkan jika
kita bersalah saat semua tak memaafkan, menjadi sandaran saat kita terluka dan
lemah saat kita tersudut”
jember, 25 Agustus 2012