Senin, 27 Agustus 2012

sayangku tidak dalam tanda kutip


Tengah malam kuterbangun setelah mendengar deringan handphone, kuambil dari atas meja.
“Ada apa?” jawabku
“Bisa datang sekarang?” suara dari sebrang yang terdengar sangat gemetar.
“Memangnya ada apa?sudah malam, Don” tanyaku
Tut tut tut ….
Sambungannya terputus. Entah ada apa dengannya, tumben sekali dia menelfon dengan suara bergetar seperti itu, suaranya juga serak dan kering. Kutekan tombol handphone untuk memanggil ulang, suara operator yang berbicara, kuulangi enam kali dan hasilnya,sama.
Kubuka jendela kamarku, ternyata banyak banyak dan indah sekali. Ingat saat ku dan Dani pertama kenal, ya seperti ini suasana malam itu, ospek alam yang sangat mengesankan. Ospek yang membuat kita berteman hingga bersahabat 5 semester lebih. Dani yang cuek, sedikit bicara, seperti ular saja, berkulit dingin tanpa emosi.
Sudah saatnya kuliah, mata ini terasa sembab, karena tak tidur setelah telfon tadi. Di lingkungan kampus, aku langsung mencari sosok yang selalu pucat tapi selalu berjalan gagah. Tujuan awal adalah basecamp UKMnya, tapi nihil. Kantin, juga nihil. Lelah mencari, ruang kuliah tujuan akhirku. Sampai disana kulihat dia sedang duduk ditengah kerumunan teman-teman.
“Apa yang dipikirkannya? Apa yang dia lakukan? Apa maksud dari telfon semalam?” Dalam hatiku sambil memasuki kelas, tanpa menyapanya dan teman lain, aku duduk dikursi paling belakang, “Bodoh, kenapa khawatir pada orang orang yang tak patut dikhawatirkan” kukatakan pada diriku sendiri “Seringkali kamu membuatku seperti ini, sudah hampir 3 tahun kita kenal, tapi aku masih mengenal mrekmu saja, tanpa mengerti apa isi didalam dirimu, melihat saja belum apalagi menyentuh”, tak terasa air mata ini menetes, “seringkali juga dia membuatku menangis seperti ini”
“Ada apa denganmu, Ke?” suara parau ini kembali menyapaku, ya itu suara Dani
“Tak ada, tak ada yang terjadi” jawabku sambil mengusap mataku cepat. “pergilah duduk, dosen sudah datang” kupalingkan wajahku darinya, tak tahan rasanya melihat dia, tapi dia tetap saja berdiri didepanku.
“Duduklah, jangan seperti ini lagi. Aku tak suka” sambil berkata aku pergi keluar kelas mengabaikan dosen dan Doni.
Dia tak mengejarku.
Di ruang kuliah lain.
Tak pernah dia mengucapkan terimakasih saat menerima pertolonganku, hanya “Apa jadinya jika kamu meninggal, Ke” atau “Kapan kamu berhenti membantuku?”, jika dia mengatakan itu, aku cuma tersenyum dan pergi, karena hanya itu yang bisa kuberikan untuk membalas kesederhanaan yang dia berikan, atas pengorbanan waktu yang dia berikan.
“Jika kamu marah padaku, tak perlu Ke. Karena aku tak ingin kamu peduli pada hidupku” Suara ini mengagetkanku lagi.
“Jangan pergi tanpa meningalkan sesuatu, jangan pergi tanpa mengatakan sesuatu, jangan pergi dengan membuat orang khawatir, jangan kembali jika kamu belum punya alasan” ucapku sambil berjalan menuju tempat duduk. Tapi, sesaat aku duduk aku melihat dia pergi dan menjauh dariku
“Hei, apa sih maksudmu?” kataku
“Aku pergi, karena aku belum punya alas an untuk kembali menemuimu”
“Jangan seperti ini, Don” suaraku bergetar dan mengecil
“Apanya? Kamu sendiri yang ingin aku pergi ‘kan?” katanya sambil melangkah kearahku lagi
“Kamu selalu seperti ini, cobalah katakan apa yang ingin Kamu katakan” lebih bergetar suara ini, serasa darah ini memuncah dikepala, tak tahan menahan, mengalirnya airmataku, “ingin aku katakan padamu apa yang terjadi? Apa semua baik-baik saja? Tapi tak bias, karena kamu selalu mengatakan apa pedulimu” belum sempat dia berkata, dan air mata ini kuusap dan terus keluar.
“Kenapa Kamu selalu marah? Padahal aku tak melakukan apa-apa” Tangkasnya lirih. “lantas, apa pedulimu dengan hidupku?” tambahnya, sambil menarik tanganku keluar ruangan itu “Bahkan, aku bukan anakmu, kakakmu, atau pacarmu” katanya sambil melempar tanganku
“Ingin tahu, kenapa aku seperti ini? Marah tak karuan seperti ini? Karena aku saying padamu, Don”
“Aku tak ingin mendengar apapun darimu lagi” katanya sambil menarikku untuk duduk. “Jangan menangis seperti ini lagi, Ke. Aku tak suka dan tak mau kau tangisi. Aku ingin kamu dan aku hanya berteman dan tak lebih. Kamu sudah memiliki kekasih dan dia sangat baik, lebih baik dariku, bukan seorang yang hobi berkelahi, bukan orang yang hobinya hanya merokok dan minum, bukan orang yang hanya bisa berbicara kotor sepertiku”
“Bodoh, aku marah karena aku khawatir terhadapmu, dan aku menyayangiku karena hanya kamu yang aku punya, karena kamu teman terbaikku” tangisku terbalut senyum, “Yeah, because I have you, my best friend” kusandarkan kepalaku pada bahu kanannya yang sangat kuat.
Aku tak menangis, hanya air mata haru ini menghiasi pertemuan ini, pagi cerah, dan rumput masih basah karena embun.Namun, tak ada sepatah kata darimu untuk menjelaskan apa yang telah terjadi.
“Hei Don, aku harap kamu bersedia memberitahuku orang seperti apa dirimu itu”
== Sekian ==
“sahabat itu akan menegur dan menyalahkan jika kita salah langkah, akan memaafkan jika kita bersalah saat semua tak memaafkan, menjadi sandaran saat kita terluka dan lemah saat kita tersudut”
jember, 25 Agustus 2012
 
Copyright (c) 2010 me-medh and Powered by Blogger.