Ramai tapi tak gaduh, suram tapi tak gelap. Semua
mata melihatku, semua pupil elektronik menyorotku, semua telinga mendengarku,
mendengarkanku berbicara. Panggung tak begitu luas, dengan properti kursi
goyang dan sebuah tong besar, aku memainkan peran yang jauh dari kepribadianku.
Lancar aku berakting karena sering berlatih. Teater durasi 45 menit usai dengan
dialog terakhirku.
Aku mengayuh sepeda
gayuh warna ungu pemberian kedua sahabatku saat ulang tahunku empat tahun lalu,
kususuri jalan dengan lampu kota yang belum lama ini kusinggahi untuk menuntut
ilmu. Aku mahasiswi semester 5 di universitas jember.
“baru pulang, Na?” sapa
ibu kostku
“iya, Bu.” Jawabku
singkat
“Sudah hampir tiga
tahun kamu disini, kenapa masih canggung denganku?” tambah ibu kostku yang
bernama Kristine.
“oh, itu.” Aku membuang
nafas beratku “ibu kandungku saja tak keberatan, Bu” jawabku sambil tersenyum
“baiklah, kamu pergilah
istirahat.” Katanya sambl menepuk pundahku lembut.
Tanpa
menjawab aku pergi meninggalkannnya. Aku sempat berpikir, hanya Bu Kristine
yang mau bertanya seperti itu kecuali Ayah, almarhum ibu, dan kakak
laki-lakiku, sahabatku saja tak pernah berkata begitu selama lima tahun mereka
mengenalku.
Matahari pagi ini cepat
muncul, kuliah berjalan seperti biasanya. Aku punya banyak teman, hanya
seperempat dari mereka yang berbaur denganku, salah satunya Dayat.
“Setelah ini kau
kemana, Na?” tanyanya sambil berbisik
“tak tahu, ke alam
barsya mungkin” tanyaku
“kau slalu menjawab
dengan jawaban yang mirip.” Gumamnya “jawablah yang lain, biar aku tak bingung,
Na” tanyanya ulang
“aku pergi kemana kakiku
melangkah.” Jawabku padanya, dan member isyarat untuk diam
“yasudah, aku ikut kau”
Siang ini cerah, tak
seperti biasa yang selalu hujan deras. Seperti biasa aku mengayuh sepedaku
ketempat biasa aku menyendiri, tapi siang ini ada yang berbeda, aku membonceng
Dayat. Aku senang punya teman seperti dia, tapi terkadang menyusahkan, dia
lebih cerewet dari kedua temanku di kota asalku.
“ Jika aku mati dikota ini kau berhak
mengambil sepeda gayuhku, ambillah di kostanku” kataku sambil tersenyum
merasakan angin sejuk di jalan kampus Universitas Jember.
“ah, aku tak mau. Aku
takut arwahmu akan mengambilnya lagi jika kubawa pulang.” Sambil tertawa dia
menjawab “Jika aku dulu yang mati kamu berhak mengambil pemutar musik milikku
yang biasa kau pakai”tambahnya.
“baiklah, akan
kupergunakan dengan baik”
“ah,kau ini. Jangan
menunjukkan kalau kau benar-benar menginginkan aku mati”
“semua orang akan mati,
Yat” kataku “turun, kita sampai”
Belakang gedung
Soetardjo Universitas jember yang rindang, teduh, dan sejuk karena banyak pohon
rindang. Disini aku sering singgah setelah kuliah selesai.
“kamu sendiri yang
mengatakannya ‘kan?”
“Benar, tapi janganlah
kamu mendahului takdir, Na” jawabnya sambil duduk sembari memberikanku sapu
tangan.
“buat apa?” kataku
dengan maksud menanyakan sapu tangan ini.
“bibirmu, berdarah”
katanya. Aku spontan kaget dan mengusapnya
“jika aku boleh meminta
pada tuhan, aku ingin Dia mencabut nyawaku saat aku berpura-pura menjadi orang
lain, Yat” nada perkataanku ini membuatdia tertawa terbahak-bahak
“kalau aku, ingin saat
aku sudah menjadi direktur perusahaan ayahku di Manado” katanya terbahak
“aku
tidak bergurau, Yat”
Sejenak, pembicaraan
kita berpindah ke pementasanku selanjutnya. Karena dia rajin menonton aksiku
walaupun dia tak tahu makna ceritanya. Maklum saja, dia bukan seniman
sepertiku, yang lihai berpura-pura, pandai memainkan karakter siapa saja,
seperti orang munafik saja. Senyumku dalam hati.
Sebulan tlah berlalu sejak saat itu, sudah 3
pertunjukkan yang telah Dayat tonton dan mendukungku. Ya, dia memang temanku
yang baik hatinya. Sudah sebulan pula aku tak lagi ke rumah sakit untuk
berobat, karena tak ada lagi yang mengingatkanku selain almarhum ibuku. Ayahku?
Tak mungkin, dia lebih mementingkan bisnis plastiknya. Kakakku? Pernah, tapi
tak mungkin untuk saat ini. Nanti malam pertunjukkan yang lumayan besar, di
gedung PKM. Mungkin, Dayat akan dating lagi.
Tempat persiapan sedikit
gaduh, dari yang memakai kostum, make-up, latihan adegan. Aku hanya duduk
melihat mereka yang hampir setiap hari bersamaku di kota ini. Aku merasa pusing
dan kepalaku berputar-putar, dalam hatiku “mungkin karena aku sudah lama tak ke
dokter”. Aku mengambil tisu di meja rias, aku berkeringat, tak biasanya aku
merasa gugup seperti ini.
Pembawa acara sudah
membuka acara, tapi tetap saja ramai penonton tapi tidak gaduh. Di balik pentas
aku membaca pesan elektronik dari Dayat, “hei Naora aku sudah disini, tunjukkan
aksimu yang terbaik, anggap ini penampilan terakhirmu sebelum kau mati”. Dalam
hati aku tersenyum, dia memang teman baikku selain kedua sahabatku di kota
asalku. Tapi tetap saja, persaan gugup blum kukalahkan. Padahal sudah kulakukan
pertapaan sebelum gladi bersih tadi sore. Apa karena peranku ini bukan
pura-pura? Apa karena peran ini memang karakterku yang tak banyak bicara.
Pementasanku berhasil,
gugup berhasil kukalahkan setelah aku memasuki pentas. Setelahnya aku bertemu
Dayat sambil duduk di pinggir jalan bersamanya, hari ini aku tak membawa sepeda
gayuhku, tapi aku bersama Dayat menggunakan motornya yang keren. Malam kian
larut, aku diantarnya pulang olehnya.
Pesan
dari Dayat, “jaga pemutar musikku, jangan sampai rusak”
Pagi ini mendung,
matahari malu menunjukkan kegagahannya. Langit sepertinya akan bersedih. Sama
sepertiku, setelah mendengar kabar kalau Dayat akan dimakankan siang ini, aku
lebih tak bersemangat seperti biasa. Dia meninggal akibat kecelakaan semalam.
“ternyata pesan itu
pesan terakhirmu padaku? aku benci pada operator yang kugunakan, kenapa pesan
elektronik itu terkirim untukku, aku benci perpisahan dengan sebuah pesan, aku
benci kenapa dia yang menyampaikan rinduku pada ibuku, kenapa dia yang pergi
dulu sebelum aku yang menderita kanker otak?” penuh rasa haru aku mengatakannya.
===
SEKIAN ===
“Tetap bersyukurlah
pada apa yang kamu miliki, Hiduplah dan beribadahlah semata-mata hanya untuk
yang kuasa, takdir hanya Tuhan yang menentukan, kita hanya bisa berencana.” (Zakiyah)
Jember, 25 September 2011
Jember, 25 September 2011
0 komentar:
Posting Komentar